Berita Komunitas Adat Semua Kategori Sulteng TANGGAP DARURAT SULTENG 

Tanaman Hula’an Diyakini Masyarakat Adat Lauje Sebagai Penangkal Covid-19

Oleh : Miftahul Afdal (Pemuda Adat Lauje)

Saat ini, dunia digemparkan oleh wabah penyakit virus corona atau covid -19 yang bermula dari sebuah Kota di China bernama Wuhan.

Indonesia juga termasuk salah satu negara yang kini juga tengah berjuang melawan wabah virus mematikan itu. Berdasarkan data yang dihimpun 3 Oktober 2021, tercatat sebanyak 235.394.274 orang jumlah penduduk dunia positif terinfeksi Virus Corona atau Covid-19 di seluruh dunia.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 212.203.553 yang sembuh dan 4.810.842 orang yang dinyatakan meninggal dunia. Sementara di Indonesia, jumlah orang yang positif terjangkit Virus Corona sebanyak 4.218.142 orang. Sembuh 4.042.215 orang dan meninggal dunia 142.115 orang.

Sedangkan di Sulteng dari data Pusat Data dan Informasi (Pusdatina) pertanggal 02 Oktober 2021, tercatat 46.413 orang positif Corona, sembuh 44.089 orang dan meninggal 1.564 orang.

Sejak awal merebaknya Covid-19 di Sulteng dalam upaya mencegah penyebaran Virus Corona ini, Gubernur Sulteng sebelumnya yaitu Drs. Longki Djanggola, M.Si perna mengeluarkan surat keputusan nomor 360/134/BPBD-G.ST/2020 tentang penetapan status keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat Virus Corona di Sulteng.

Dan dalam masa pergantian Gubernur Sulteng yang kini dijabat oleh Rusdi Mastura, juga sudah menerbitkan Surat Edaran (SE) nomor 443/545/Din.kes terkait Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro tertanggal 28 Juni 2021 lalu.

Di Kabupaten Parigi Moutong, saat ini masuk dalm PPKM level 3. Dengan begitu beberapa kegiatan masyarakat dilonggarkan. Selain itu, Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) sudah mulai.

Menariknya, di tengah mewabahnya Covid-19 ini, Masyarakat Adat Lauje di Kabupaten Parigi Moutong memiliki cara tersendiri dalam penanganan pencegahan Covid-19.

Masyarakat Adat Lauje ini, tersebar di Kecamatan Ampibabo, Kecamatan Tinombo, Kecamatan Palasa sampai ke daerah Kecamatan Sojol Kabupaten Donggala dan Kecamatan Dondo Kabupaten Tolitoli.

Kecamatan Palasa termasuk pusat persebaran Masyarakat Adat Lauje terbesar di Kabupaten Parigi Moutong, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Parigi Moutong tahun 2016, jumlah penduduk Kecamatan Palasa, Laki-laki berjumlah 16.329 jiwa, kemudian Perempuan berjumlah 15.574 jiwa, sehingga keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Palasa sebanyak 31.903 jiwa.

Bagi Masyarakat Adat Lauje, jauh sebelum wabah Virus Corona muncul dan menyebar di seluruh dunia hingga mengepung Indonesia dan akhirnya sampai juga di Sulawesi Tengah, Masyarakat Adat Suku Lauje telah melewati segala macam wabah penyakit salah satunya berupa Cacar yang dapat menular kepada orang lain, bahkan bisa membuat penderitanya meninggal jika tak secepatnya ditangani.

Salah satu Kepala Adat Lauje di Kecamatan Palasa, Andi Daemanaga yang berusia 71 tahun, menceritakan bahwa Masyarakat Adat Lauje pernah dilanda wabah penyakir Cacar yang terus menular hingga membuat banyak warga yang tertular.

“Dulu Kecamatan Palasa ini, masih masuk wilayah Kecamatan Tomini. Saat itu, ada wabah penyakit yang menyerang warga, dan warga saat itu menyebutnya “Penyakit Sagala” yang sangat menakutkan. Penyakit itu menular hampir kepada seluruh masyarakat yang ada, sehingga banyak orang meninggal, ”kisah Andi Daemanaga.
Andi Daemanaga dalam bahasa Lauje menyebutnya “Gota to Nate, No’odoya Manusia,” yang berarti “Banyak orang mati, manusia terdiam,” katanya.

Dia mengisahkan ribuan orang yang meningal saat itu akibat Penyakit Sagala, sehingga tidak ada satupun orang yang bisa keluar rumah waktu itu, karena jika keluar dari rumah nyawa bisa terancam apabila terkana penyakit mematikan tersebut.

Sesuai kepercayaan orang tua dulu kata Andi Daemanaga, terdapat suatu cara Masyarakat Adat Lauje dalam menghadapi wabah penyakit dengan kepercayaan yang telah terwarisi secara turun temurun yakni dengan menyimpan tumbuhan Hula’an atau satang yang tumbuh dipinggir pantai seperti tanaman ubi jalar yang selanjutnya di gantungkan di depan rumah.

Hula’an itulah yang diyakini menjadi penangkal wabah penyakit Sagala saat itu, sehingga tidak bisa masuk ke dalam rumah.
Sebab, saat penyakit mengerikan tersebut melanda Palasa dan Tomini kala itu, belum ada dokter di pedesaan, Bahkan perawat kesehatan juga tidak ada, sehingga satu-satunya kepercayaan dari leluhur Lauje menangkal wabah penyakit adalah dengan menyimpan tanaman Hula’an di depan rumah. Dengan begitu, wabah penyakit tidak masuk ke dalam rumah dan menyerang orang di dalam rumah.

“Alhamdulillah, lamai Hula’ane labai owu ijale sauw noduae. Mungkin teule onjo labai nopogutu teule sagaruwe kikira no’opusoma manusia,” ujar Andi Daemanaga dalam bahasa suku lauje.

Adapun arti dari kalimat itu “Alhamdulillah, dari Hula’an itu tidak ada sama sekali penyakit yang datang setelah itu, mungkin kalau tidak dibuatkan juga seperti itu sudah habis manusia”.

Hula’an belum banyak diketahui masyarakat, sehingga kepercayaan tradisional Masyarakat Adat Lauje ini mulai ditinggalkan masyarakat khususnya di Desa Palasa.

Padahal Hula’an itu, hidup liar di pinggiran pantai dan mudah untuk didapatkan.
Andi Daemanaga juga menuturkan, orang yang terkena penyakit Sagala hanya dilakukan pengobatan secara tradisional dengan cara ditiup menggunakan bacaan mantra-mantra oleh dukun kampung.

“Labai pernah to lulu sinubiee, labai owu suntikan, bi sinubanga to lulu, ayoee, pertolongan dari siyopulata’ala saga manusia labai nate, senga nongondo to neijal,” artinya “Tidak pernah orang dulu di suntik, yang ada hanya di tiup-tiup, begitu saja, pertolongan dari tuhan sebagian manusia tidak maninggal, langsung sembuh orang yang sakit,” tuturnya.

Daemanaga menjelaskan, kondisi masyarakat yang terdampak Sagala, hampir serupa dengan virus Corona saat ini, setiap orang satu sama lain tidak bisa berdekatan, sebab wabah itu dapat menjangkit ke orang lain, sehingga banyak sekali orang yang berdiam diri di rumah karena takut akan terkena Sagala.

Namun, kepercayaan terhadap Hula’an sebagai penangkal wabah penyakit sudah jarang terlihat digunakan oleh masyarakat. Hanya sebagian kecil saja masyarakat adat suku lauje yang masih meyakini hal itu, sehingga masih menggunakannya dalam menangkal Virus Corona atau Covid-19.

Dalam melawan penyebaran Virus Corona ini, Pemerintah hanya menganjurkan social distancing atau pembatasan sosial dan saat ini PPKM sebagai langkah pencegahan Covid-19 dengan slogan di rumah saja.

Berbeda dengan orang dulu yang meyakini adanya tumbuhan tradisional yang dapat menangkal penyebaran wabah penyakit, sehingga di pekarangan rumah disimpan agar bisa terhindar dari wabah penyakit.

Masyarakat Adat Lauje, hingga kini masih meyakini bahwa tumbuhan tradisional yang tumbuh di alam merupakan penangkal semua jenis penyakit termasuk wabah Virus Corona.

Berdasarkan hasil penelitian salah satu Alumni Universitas Tadulako, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi, Yakub terhadap To Bela yang merupakan Masyarakat Adat Suku Lauje yang bertempat tinggal di pegunungan Desa Bambasiang, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah mendapatkan beberapa pemanfaatan tumbuhan oleh komunitas To Bela untuk menangkal wabah penyakit.

Sedikitnya ada 32 jenis tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Suku Lauje sebagai obat-obatan. Bagian dari tumbuhan yang digunakan antara lain daun, batang, buah serta umbi.

Jika ditelusuri lebih mendalam mengenai keyakinan masyarakat Komunitas To Bela terhadap proses pengobatan tradisional, merupakan salah satu bentuk keyakinan yang menjadi warisan dari leluhur yang tetap masih dipertahankan hingga saat ini.

Namun sayangnya, seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan medis, sebagian besar Masyarakat Adat Suku Lauje juga sudah mulai meinggalkan pengobatan tradisional itu.

Hampir semua Masyarakat Adat Suku Lauje, apabila mengalami sakit, baik itu penyakit dalam maupun penyakit luar langsung melakukan perawatan di Puskesmas.

Berikut beberapa tumbuhan yang diyakini bisa menyebuhkan wabah penyakit atau orang yang terkena penyakit yaitu :
1. Kumis kucing “vurucumi seseng” (Orthosipon aristatus)
2. Pulai “Songkalan” (Alstonia scholaris)
3. “Canggore Ombok” (Porophylum ruderale)
4. Kunyit putih “Unyit meas (Curcuma manga)
5. Jarak pagar “Balacai” (Jatropa curcas)
6. Wenang “Bintanag” (Kelinhovia hospita)
7. Kencur “Su’ul” (Kaempferia galanga)
8. Kunyit Hitam “Unyit meitong” (Curcuma caesia)
9. Tomat “Tamate” (Solanum lycopersicum), obat luka bakar
10. Jeruk Nipis “Lemo” (Citrus Aurantifolia), obat batuk
11. Jahe “Loiya” (Zingiber Officinale), obat batuk
12. Pulutan “Dolupang” (Urena Labata), obat bisul
13. Sirih “Dolo’e” (Piper Betle), obat untuk wanita
14. Palem Merah “Lugus Megang” (Areca Vestiaria), obat luka
15. Daun Nangka “Long Nanga”, obat mata
16. Daun Pepaya “Long Pepaya”, obat malaria
17. Buah Kelapa ” Hua Niu”, obat racun
18. Buah Aren “Hua Aren”, obat racun
19. Bengkudu “Bangkudu” (Morinda Catrifolia), obat darah tinggi
20. Jarak Merah “Palan Me’gang” (Jatropha Gosivifolia), obat rematik
21. “Kayu Jawa” (Lannea Grandis), obat luka
22. Takelan “Jo’jonga” (Cromolaena Odorata), obat luka luar
23. “Molambulas” (Dysoxylum nutans), obat penyakit kulit
24. Benahong “Tambalu’Pa” (Rhapidopora Tetrasperma), obata sakit perut
25. Tembelakan “Tingkanavu” (Verbenaceae), obat batuk
26. “Sensegat” (Rubus Mollucanus), obat sakit perut
27. Biduri “Bungakonde” (Calatropis Gigantea), obat sakit perut
28. Jambu Biji “Jambu” (Psidium Guajava), obat sakit perut
29. “Sariyudo” (Blumea Sp), obat panu/kurap
30. Sembung “Tangkilapon” (Blumea Balsaminifea), obat panu/kurap
31. Ketepeng Cina “Kalamau” (Senna Alata), obat penyakit kulit
32. Kunyit “Unit” (Curcuma Longa), obat penyakit kulit

Related posts

Leave a Comment